MAKALAH
MEMBINA MORAL DAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN DALAM MENNJANG
KEPEMIMPINAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Etika Dan Profesionalisme Pendidikan
DOSEN: DR. SYAMSUDIN
Disusun oleh:
A. Sahri, S.Pd.I
Alwani, S.Th.I
Syarif, S.IP
Umayah, S.Pd
Program
Pasca Sarjana STIMA IMMI – Kampus Ash-Shibgoh
Tahun
2015
KATA
PENGANTAR
Keluarga dan sekolah
seharusnya menjadi lembaga pendidikan yang terdepan di dalam pembinaan moral dan
akhlak anak atau peserta didik. Makalah ini akan mencoba membahas tentang
bagaimana seharusnya keluarga dan sekolah dapat melakukan tugas yang berat ini
dengan baik. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen dan
rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan membantu penyusunan makalah ini.
Kami menghargai semua saran dan kritik membangun guna perbaikan makalah
ini.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Betapa
memprihatinkan wajah Indonesia yang hampir setiap hari disajikan televisi
melalui siaran berita, seperti kasus pemerkosaan, tawuran dan tindakan-tindakan
kriminal lainnya yang seringkali menyebabkan jatuhnya korban, baik itu korban
luka-luka hingga korban berujung kematian. Yang lebih memprihatinkan dan
mengecewakan dari semua itu adalah usia sebagian dari para pelakunya yang masih
berstatus pelajar. Bahkan banyak diantara mereka masih duduk di bangku sekolah
dasar atau SMP. Tentunya terbersit banyak pertanyaan dalam benak kita “Ada apa
dengan bangsa ini?” Marilah kita sebagai orang tua dan guru yang hakikatnya
sama-sama berperan sebagai pendidik untuk merenungkan sejenak masalah ini
hingga akhirnya tumbuh kepedulian untuk merubah wajah anak negeri.
Salah
satu problem yang mendasar dalam pendidikan adalah terkait dengan pendidikan
moral dan akhlak. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pendidikan moral dan
akhlak akan semakin memperburuk kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh
karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kondisi ini.
Setiap
anak sebelum ia mengalami proses pendidikan di sekolah, sejatinya mereka
berasal dari rumah tempat mereka menjalani kehidupan sehari-harinya bersama
keluarga. Karena itu orang tualah yang memegang peranan yang sangat penting
dalam hal pendidikan anak. Walaupun ada beberapa kondisi yang menyebabkan anak
tidak bisa mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, seperti anak yatim piatu
semenjak lahir, anak yang dibuang oleh orang tuanya, dll. Tetapi pada kondisi
normal, orang tua merupakan pendidik anak yang pertama dan utama. Bahkan dalam
Al-qur’an serta sunnah banyak sekali ditegaskan tentang pentingnya mendidik
anak bagi para orang tua. Anak yang terdidik dengan baik oleh orang tuanya akan
tumbuh menjadi anak yang pandai menjaga dirinya dari pengaruh buruk lingkungan,
karena ia telah dibekali oleh ilmu tentang hidup dan kehidupan yang didalamnya
terdapat ilmu yang paling bermanfaat yaitu ilmu agama.
Bagaimana
pula dengan pendidikan formal melalui lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah?
Apa yang terjadi dengan sekolah-sekolah kita ini? Mengapa banyak pelajar dan
generasi muda lainnya yang terlibat dalam berbagai tindak kriminal? Tentunya
kita semua merasa prihatin bahwa ternyata sekolah-sekolah kita belum mampu
menjalankan peran utamanya yaitu memberikan pendidikan karakter sehingga
melahirkan manusia-manusia yang berakhlak terpuji.
Semua
hal di atas menjadi latar belakang permasalahan yang akan kami bahas dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian moral dan akhlak? Apa pula perbedaan moral dan akhlak?
2.
Mengapa
dan bagaimana seharusnya keluarga membina/mendidik moral dan akhlak
anggota-anggotanya?
3.
Bagaimana
seharusnya pembinaan/pendidikan moral dan akhlak peserta didik dilakukan di
sekolah-sekolah dalam membentuk seorang pemimpin?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian moral dan akhlak
Moral
berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral
selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat.
Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan
buruknya suatu perbuatan.
Akhlak
berasal dari kata “khuluq” yang artinya perang atau tabiat. Dan dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan.
Dapat didefinisikan bahwa akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong
perbuatan dengan mudah, spontan tanpa dipikirkan dan direnungkan lagi. Dengan
demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang
secara spontan yang diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila
perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut
akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil,
rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut
akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri
hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber
nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
B. Perbedaan antara akhlak dan moral
Perbedaan
antara akhlak dan moral dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran
baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan
yang dibuat oleh suatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan
itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu.
Dengan
demikian standar nilai moral bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar
akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan
cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik
merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan
dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul
sebagaimana disabdakannya :“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak
manusia.”(Hadits riwayat Ahmad).
Secara
umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari
aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila
aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau
dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam
telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.
C. Akhlak kepada Allah, Sesama manusia, dan
Lingkungan
Akhlak kepada Allah.
1.
Beribadah
kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai
dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap
perintah Allah.
2.
Berzikir
kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik
diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan
ketenangan dan ketentraman hati.
3.
Berdo’a
kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah,
karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia,
sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan
do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus
kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi
tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap
muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima
keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang
sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
4.
Tawakal
kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil
pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
5.
Tawaduk
kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah
dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup
dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah.
D. Akhlak kepada sesama manusia
1.
Akhlak kepada diri sendiri
a. Sabar, yaitu prilaku seseorang terhadap dirinya sendiri
sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang
menimpanya.Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan
dan ketika ditimpa musibah.
b. Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat
Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk
ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan
alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan
dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
c. Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang
dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan
ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri
sendiri dan tidak menyenangkan orang lain.
2.
Akhlak kepada ibu bapak
Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik
kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak
dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain : menyayangi dan mencintai
ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah
lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka jika
sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha.
3.
Akhlak kepada keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan
kasih sayang diantara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk
komunikasi.
Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih
sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih
sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa
pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua kepada
anak. Oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasi
semua pihak dalam keluarga.
Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling
keterikatan batin, keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan
menghapuskan kesenjangan di antara mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya
menjadi tempat menginap, tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal yang damai
dan menyenangkan, menjadi surga bagi penghuninya. Melalui komunikasi seperti
itu pula dilakukan pendidikan dalam keluarga, yaitu menanamkan nilai-nilai
moral kepada anak-anak sebagai landasan bagi pendidikan yang akan mereka terima
pada masa-masa selanjutnya.
4.
Akhlak kepada lingkungan
Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang
secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.
Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan baik maupun
buruk.
Selama ini, masalah akhlak ini hanya sering
terfokus terhadap hubungan antar manusia saja. Padahal, akhlak terhadap
lingkungan juga sangatlah penting. Kita lihat sekarang ini banyak sekali
tingkah laku manusia yang tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya, misalnya
dengan menggunduli hutan, mengubah area resapan air menjadi area pemukiman,
membuang sampah sembarangan, dan lain-lain yang mengakibatkan pemanasan global,
banjir, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam lainnya.
Saat ini, kondisi lingkungan alam sudah
sangat kritis. Namun, setidaknya saat ini sudah mulai bermunculan aksi-aksi
peduli lingkungan, baik yang dilakukan perorangan maupun kelompok masyarakat.
Setidaknya, dengan berbagai peringatan dari Allah, manusia di muka bumi telah
mulai sadar dan lebih memperhatikan lingkungan hidupnya lagi. Karena pada
awalnya, manusia diciptakan oleh Allah tujuannya adalah untuk menjadi khalifah
di muka bumi, yang tentunya juga harus dapat melestarikan bumi ini. Memang
suatu saat nanti kiamat akan terjadi. Namun jika manusia terus bersikap merusak
lingkungan, tentunya kiamat itu akan terjadi lebih cepat karena ulah manusia
itu sendiri. Sebagai umat islam kita harus dapat melestarikan lingkungan alam
dan menjadi contoh bagi umat-umat yang lain karena kita memahami
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah.
Jadi intinya adalah kita sebagai manusia
harus menyadari bahwa kita berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan
memanfaatkan bumi dan segala yang ada di dalamnya dengan baik yang sengaja
diciptakan oleh Allah untuk kepentingan manusia.
E. Peranan Keluarga dalam Pembinaan Moral
dan Akhlak
Keluarga
sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat (Muchtar, 2005: 43) mempunyai
peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perilaku anak.
Kedudukan dan fungsi keluarga dalam kehidupan manusia bersifat fundamental
karena pada hakekatnya keluarga merupakan wadah pembentukan watak dan akhlak.
Tempat
perkembangan awal seorang anak sejak dilahirkan sampai proses pertumbuhan dan
perkembangannya baik jasmani maupun rohani adalah lingkungan keluarga, oleh
karena itu di dalam keluargalah dimulainya pembinaan nilai-nilai akhlak karimah
ditanamkan bagi semua anggota keluarga.
Peran
dan tanggung jawab orang tua mendidik anak dalam keluarga sangat dominan sebab
di tangan orang tuanyalah baik dan buruknya akhlak anak. Pendidikan dan
pembinaan akhlak merupakan hal paling penting dan sangat mendesak untuk
dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas hidup. Dalam ajaran agama Islam
masalah akhlak mendapat perhatian yang sangat besar sebagaimana sabda
Nabi:
............. اَÙƒْÙ…َÙ„ُ الْÙ…ُؤْمنيْÙ†َ ايْماَناً اَØْسَÙ†ُÙ‡ُÙ…ْ Ø®ُÙ„ُقاً
”Orang mukmin yang paling sempurnanya
imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya” HR. Tirmidzi (Nawawi,
1999: 583).
Mengingat
masalah akhlak adalah masalah yang penting seperti sabda Nabi di atas, maka
dalam mendidik dan membina akhlak anak orang tua dituntut untuk dapat berperan
aktif. Peranan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam menanamkan
nilai-nilai akhlak karimah terhadap anak yang bersumber dari ajaran agama Islam
sangat penting dilakukan agar anak dapat menghiasi hidupnya dengan akhlak yang
baik sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan norma agama,
norma hukum dan norma kesusilaan.
Dewasa
ini dengan terjadinya perkembangan global di segala bidang kehidupan selain
mengindikasikan kemajuan umat manusia disatu pihak, juga mengindikasikan
kemunduran akhlak di pihak lain. Kemajuan kebudayaan melalui pengembangan IPTEK
oleh manusia yang tidak seimbang dengan kemajuan moral akhlak, telah memunculkan
gejala baru berupa krisis akhlak.
Pendidikan
akhlak merupakan salah satu bagian pendidikan dalam Islam yang sangat
diperlukan agar anak memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik dari seorang
anak akan melahirkan generasi yang baik pula, yaitu generasi muda yang taat
kepada Allah, berbakti kepada orang tua dan memperhatikan hak-hak bagi saudara
muslim yang lain.
Dalam
pendidikan dan pembinaan akhlak anak, orang tua harus dapat berperan sebagai
pembimbing spiritual yang mampu mengarahkan dan memberikan contoh tauladan,
menuntun, mengarahkan dan memperhatikan akhlak anak sehingga anak berada pada
jalan yang baik dan benar. Jika anak melakukan kesalahan, maka orang tua dengan
arif dan bijaksana membetulkannya, begitu juga sebaliknya jika anak melakukan
suatu perbuatan yang terpuji maka orang tua wajib memberikan dorongan dengan
perkataan atau pujian maupun dengan hadiah berbentuk benda.
Peranan
keluarga sangat besar dalam membina akhlak anak dan mengantarkan kearah
kematangan dan kedewasaan, sehingga anak dapat mengendalikan dirinya,
menyelesaikan persoalannya dan menghadapi tantangan hidupnya. Seperti dalam
firman Allah SWT:
”Wahai orang-orang yang beriman!
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang
tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim : 6).
Orang tua merupakan pembina pertama bagi perkembangan
dan pembentukan pribadi anak. Keluarga merupakan tempat penanaman utama
dasar-dasar moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam sikap dan perilaku
orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh oleh anak (Hasbullah, 2008:
42).
F. Peran Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pendidikan
yang pertama sangat penting dalam membentuk pola kepribadian anak. Karena di
dalam keluarga, anak pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.
Peran orang tua dalam mendampingi dan mendidik anak tidak
terbatas sebagai orang tua. Sesekali orang tua perlu berperan sebagai polisi
yang selalu siap menegakkan keadilan dan kebenaran, sesekali pula orang tua
berperan sebagai guru yang dapat mendidik anak dengan baik. Sewaktu-waktu
berperan sebagai teman, orang tua perlu menciptakan dialog yang sehat, tempat
untuk mencurahkan isi hati. Alam psikologis orang tua harus beralih ke alam
anak-anak, sehingga orang tua bisa merasakan, menghayati dan mengerti kondisi anak-anak.
Apabila dialog yang sehat ini dikembangkan, anak-anak akan terbuka terbuka
terhadap orang tua dan tidak akan segan-segan mengutarakan isi pikirannya.
Melalui dialog yang sehat ini orang tua dapat memasukkan nilai-nilai yang
positif terhadap anak. Orang tua dapat meluruskan jalan pikiran anak yang
keliru dengan leluasa (Amin, 2007 : 171-172).
Peran orang tua dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu:
1.
Peranan ayah:
a. Sumber kekuasaan, dasar identifikasi yang memberikan
pendidikan anaknya tentang manajemen dan kepemimpinan.
b. Penghubung dengan dunia luar yang memberikan pendidikan
komunikasi terhadap sesama kepada anak.
c. Pelindung terhadap ancaman dari luar, sehingga ayah
memberikan sikap bertanggungjawab dan waspada.
d. Pendidik segi rasional dengan memberikan pendidikan anaknya
dan menjadi dasar-dasar pengembangan daya nalar serta daya intelek, sehingga
menghasilkan kecerdasan intelektual.
2.
Peranan Ibu :
a. Pemberi aman dan sumber kasih yang memberikan pendidikan
sifat ramah- tamah, asah, asih, dan asuh kepada anaknya.
b. Tempat mencurahkan isi hati yang memberikan pendidikan kepada
anak.
c. Sikap keterusterangan dan terbuka serta tidak menyimpan
derita atau rasa pribadi.
d. Pengatur kehidupan rumah tangga yang memberikan
keterampilan-keterampilan khusus kepada anaknya.
e. Pembimbing kehidupan rumah tangga.
f. Pendidik segi emosional yang memberikan pendidikan kepekaan
daya rasa.
g. Dalam memandang sesuatu yang melahirkan kecerdasan emosional
(Mujib, 2008: 230).
h. Penyimpan tradisi.
G. Peranan Sekolah dalam Pendidikan Moral
dan Akhlak
Untuk
merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan
akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga
pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan
akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter.
Akhir-akhir
ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni
Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini tampaknya
belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti
yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok mata
pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing
kelompok mata pelajaran memengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta
didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4). Pada pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa
Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A,
SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/ SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan,
kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan
kesehatan.
Akhlak
mulia di lingkungan sekolah atau pendidikan, harus tercermin dalam praktik
kehidupan sehari-hari semua warga sekolah yang meliputi karyawan, guru, para
siswa, dan kepala sekolah. Semua komponen sekolah, harus menghiasi dirinya
dengan akhlak yang mulia, seperti berlaku jujur, amanah, tanggungjwab, rasa
hormat, peduli, santun, lapang dada, toleran, tekun dan sabar. Dengan
menanamkan dan mempraktikkan sikap dan perilaku tersebut, maka pada waktunya
kelak akan terbangun kultur akhlak mulia di lingkungan sekolah.
Program-program
sekolah yang strategis untuk membangun kultur akhlak mulia telah dibuat secara
rinci melalui peraturan dan tata tertib sekolah. Tata tertib ini menjadi dasar
bagi para siswa dan selurus civitas sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan,
dan siapa pun) dalam beraktivitas sehari-hari di sekolah. Problem yang terjadi
adalah sebagian civitas sekolah baik guru, karyawan, maupun siswa terkadang tidak
mengetahui dan memahami visi dan misi sekolah, sehingga arah yang ingin dicapai
sekolah tidak diketahui secara pasti. Di sisi lain terkadang visi dan misi
sekolah hanya merupakan jargon atau slogan yang menjadi penghias sekolah bagi
masyarakat di luar sekolah. Akibatnya, sekolah sering berlindung di balik visi
dan misi sekolah saja, sementara ujud dari pengembangan kultur akhlak mulia
tidak pernah diupayakan untuk bisa terwujud di sekolah.
Sekolah
yang berhasil menerjemahkan visi dan misinya dalam program-program pengembangan
kultur yang nyata, ternyata lebih berhasil dalam membangun akhlak mulia.
Civitas akademika, seperti terlihat dalam sekolah-sekolah Islam semakin rinci
dalam program-program yang dibuat sekolah, semakin jelas akan hasil yang bisa dilihat.
Harus
juga disadari bahwa membangun kultur sekolah memerlukan waktu yang relatif
lama. Budaya salam, senyum, sapa, jabat tangan, dan ucapan selamat harus selalu
diupayakan dan tidak hanya berhenti sampai batas waktu tertentu, tetapi sampai
tercapai kultur akhlak mulia yang dicita-citakan sekolah. Ketercapaian budaya
atau kultur akhlak mulia yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari
baik di sekolah maupun di luar sekolah yang disertai dengan nilai-nilai ibadah
tidak bisa ditempuh dalam waktu yang singkat.
Untuk terwujudnya kultur akhlak mulia di sekolah secara umum,
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1.
Sekolah
sebaiknya merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah yang mengarah pada
pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah.
2.
Diperlukan
adanya persepsi yang sama di antara civitas sekolah dan orang tua siswa serta
masyarakat dalam rangka mewujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
3.
Untuk
pengembangan akhlak mulia di sekolah diperlukan juga kesadaran yang tinggi bagi
seluruh civitas
sekolah untuk mewujudkannya.
4.
Adanya
komitmen yang tegas dari kepala sekolah untuk mewujudkan kultur akhlak mulia di
sekolah yang
dituangkan dalam kebijakan-kebijakan atau
program-program yang jelas.
5.
Adanya
program-program dan tata tertib sekolah yang tegas dan rinci serta mengarah
pada pengembangan kultur akhlak mulia di sekolah.
6.
Adanya
pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia dalam aktivitas sehari-hari di sekolah baik
dalam aspek keagamaan maupun aspek yang bersifat umum.
7.
Adanya
dukungan positif dari semua pihak yang terkait dalam mewujudkan kultur akhlak
mulia di sekolah.
8.
Ada
keteladanan dari para guru (termasuk kepala sekolah) dan para karyawan sekolah.
9.
Adanya
sinergi antara tiga pusat pendidikan, yakni pendidikan formal (sekolah),
pendidikan informal (keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat) untuk
mewujudkan kultur akhlak mulia bagi para siswa baik di sekolah maupun di luar
sekolah.
10. Perlu juga didukung adanya reward and punishment yang
mendukung terwujudkan kultur akhlak mulia di sekolah.
11. Membangun kultur akhlak mulia membutuhkan waktu yang lama dan
harus dilakukan secara berkelanjutan.
Membicarakan persoalan akhlak dalam kepemimpinan
islam berarti membicarakan kepribadian pemimpin dalam kepemimpinan islam.
Dengan kata lain terdapat ciri-ciri pokok yang dijadikan dasar seorang pemimpin
dalam kepemimpinananya menurut kaidah islam.
Dalam kaitannya dengan kepemimpinann, Emori.
S. Bogardu dalam bukunya “ Leader and Leadership” mengatakan bahwa kepribadian manusia dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.
sifat kepemimpianan (Leadership)
2.
Sifat Keikutan (Followership)
3.
Unsur pemimpin dan pengikut
Pemimpin yaitu, seseorang yang
karena suatu sebab, diikuti oleh
kelompok manusia lainnya. Sebab-sebab itu dapat berupa : karena
keturunan atau karena ia mamiliki
sifat-sifat tertentu, sehingga dijadikan
pemimpin.
Sifat-sifat pemimpin yang menyebabkan ia dipilih sebagai pemimpin oleh
suatu kelompok, biasanya sangat
berhubungan dengan tujuan-tujuan kegiatan kelompok, jenis-jenis kegiatan yang
harus dipimpin, ciri-ciri anggota kelompok dan kondosi-kondisi yang terdapat disekitar
kelompok tersebut.
Adapun akhlak Kepemimpinan Islam adalah
kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah
orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah
tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat
syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk
‘majelis fukaha’.”
Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin
ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat
bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin)
adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. al-Ahzab [33]: 21).
Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin,
minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut:
“Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah
pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan
anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.
Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits).
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam
menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah
(STAF):
1. Siddiq
(jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
2. Tabligh
(penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
3. Amanah
(bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
4. Fathanah
(cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam
dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan
kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan
dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55),
mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam
yaitu :
Pertama, Setia kepada Allah. Pemimpin dan
orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh.
Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok,
tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak
Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin
selama ia berpegang teguh pada perintah syariah.
Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh
kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau
orang-orang yang tak sepaham
Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima
kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab
yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah
dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya.
Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :
“(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
adanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah;
Keadilan; dan Kebebasan berfikir. Secara ringkas menurut penulis ini ingin
mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa
koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya
secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya,
dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan
bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa,
sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang
menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan
hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting
adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah
kepemimpinan.
Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim
diminta memberikan nasihat bila diperlukan, sebagaimana Hadits Nabi dari :Tamim
bin Aws meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Agama adalah
nasihat.” Kami berkata: “Kepada siapa?” Beliau menjawab: “Kepada Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, Pemimpin umat Islam dan kepada masyarakat kamu.”Nah,
kepada para pemimpin, mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat
yang lebih besar.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Akhlak
bersinonim dengan moral dan etika dalam bahasa Indonesia. Namun bila dikaji
lebih dalam akhlak tidak sama persis dengan moral dan etika. Moral dan etika
berasal dari tradisi dan kebiasaan-kebiasaan dalam sebuah masyarakat, sedangkan
akhlak berasal dari terminologi Islam. Akhlak bersumber dari Al-qur’an dan
Assunnah. Akhlak mencakup sikap dan prilaku manusia terhadap Allah, sesama
manusia, dan lingkungan alam semesta.
Membina
atau mendidik manusia untuk memiliki moral dan akhlak yang baik berawal dari
pendidikan dan pembinaan di dalam keluarga. Keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak dan juga anggota-anggota yang lain seharusnya menerapkan prilaku
yang berdasarkan ajaran agama yang telah memberikan pedoman yang benar. Seorang
ayah atau ibu yang menginginkan anak-anak dan keturunan mereka memiliki moral
dan akhlak yang baik hendaknya juga mempraktekkan moral dan akhlak yang baik.
Baik dan buruknya prilaku anak-anak boleh dikatakan sebagai cerminan prilaku
orang tua mereka. Karena itulah orang tua harus benar-benar memahami
nilai-nilai moral dan akhlak yang diajarkan di dalam masyarakat dan juga agama
yang dianutnya. Sebagai muslim kita seharusnya juga mempraktekkan ajaran-ajaran
agama kita tentang sikap dan prilaku atau akhlak yang baik.
Sekolah
juga memiliki peranan yang amat penting di dalam membentuk karakter generasi
muda/peserta didik sehingga mereka memiliki moral dan akhlak yang baik. Setiap
elemen yang ada di sekolah, baik kepala sekolah, para guru, para pegawai
sekolah dan juga para peserta didik seharusnya menunjukkan dan mempraktekkan
moral dan akhlak yang baik. Kultur moral dan akhlak yang baik harus dimulai
sejak dini, sejak para siswa pertama kali menginjakkan kaki di sekolah. Para
guru hendaknya dapat memberikan pemahaman dan contoh prilaku yang berakhlakul
karimah kepada para peserta didiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar